Nov 24, 2009

Yahya Schroder: Meninggalkan Kemewahan Kerana Memilih Islam


Bulan November tahun 2006, menjadi bulan bersejarah bagi remaja Jerman itu. Ini kerana pada saat itu beliau yang masih berusia 17 tahun mengucapkan dua kalimat syahadat dan menjadi seorang Muslim.

Beliau memilih nama Yahya, sebagi nama Islamnya dan semenjak itu remaja Jerman itu kini tinggal di Postdam, dikenali dengan nama Yahya Schroder.



Sebelum Islamnya, Yahya menetap dengan ibu dan ayah tirinya di sebuah desa kecil di Jerman. Beliau tinggal di rumah yang besar lengkap dengan kolam renang yang luas. Di biliknya ada televisyen dan play station dan Yahya tidak pernah kesulitan dalam masalah wang. Seperti remaja lainnya, Yahya sering melepak bersama teman-temannya, minum alkohol atau melakukan hal-hal yang merosakan.



Tetapi semua kenikmatan dunia itu harus beliau tinggalkan ketika beliau memutuskan masuk Islam. Setelah menjadi seorang mualaf, Yahya memilih tinggal bersama ayahnya yang sudah lebih dulu masuk Islam, di Postdam berhampiran kota Berlin. Yahya mengaku tidak merasa bahagia saat bersama dengan ibu dan ayah tirinya yang kaya dan mengecap kehidupan yang mewah. "Saya mencari sesuatu yang lain," ujarnya.



Yahya mengenal komuniti Muslim di Postdam ketika berusia 16 tahun, lewat ayah kandungnya yang lebih dulu masuk Islam pada tahun 2001. Ketika itu, beliau biasa mengunjungi ayah kandungnya sebulan sekali dan sering ikut ayahnya menghadiri pertemuan-pertemuan dengan komuniti Muslim yang diselenggarakan setiap hari Minggu.



Yahya merasa tertarik dengan Islam dan ayahnya memperhatikan hal itu. Hingga suatu hari ayahnya mengatakan tidak mahu membahas soal Islam ketika mereka sedang berdua sahaja. Ayah Yahya menginginkan puteranya itu belajar dari orang-orang yang ilmunya tentang Islam lebih tinggi agar jika Yahya masuk Islam tidak dipandang sekadar ikut-ikutan seperti apa yang telah dilakukan ayahnya dahulu.



"Saya setuju dengan ayah dan saya mulai menghadiri pertemuan-pertemuan itu sendiri, setiap bulan. Tapi saat itu terjadi sesuatu hal yang mengubah cara berfikir saya," ujar Yahya.



Yahya bercerita, ia mengalami kecelakaan ketika pergi berenang bersama komuniti Muslim. Ketika ia melompat ke kolam renang dari ketinggian, kepalanya membentur dasar kolam renang dan tulang punggungnya patah. Ayahnya membawa Yahya ke hospital dan doktor di hospital itu mengatakan hal yang membuat gentar hatinya.



"Punggungmu mengalami patah tulang yang parah, satu saja gerakan yang salah, boleh membuatmu lumpuh," kata doktor.



Yahya harus menjalani operasi. Beberapa saat sebelum masuk ruang operasi, rakan Yahya di komuniti Muslim bernama Ahmir memberinya semangat, "Yahya, sekarang engkau berada di tangan Allah. Ini seperti naik rollercoaster. Sekarang engkau sedang berada dalam puncak kenikmatan naik sebuah rollercoaster dan percayalah pada Allah."



Operasi pembedahan berlangsung selama lima jam dan Yahya tersedar hanya selepas tiga hari kemudian. "Saya tidak dapat menggerakan tangan kanan saya, tapi saya merasa sangat bahagia. Saya berkata ke doktor bahawa saya tidak peduli dengan tangan kanan saya. Saya sudah sangat bahagia kerana Allah telah membiarkan saya tetap hidup," tutur Yahya. Doktor mengatakan Yahya harus dirawat di hospital dalam beberapa bulan. Namun Yahya cuma dua minggu di hospital tersebut, kerana beliau berlatih dengan keras. Yahya bahkan sudah mampu naik turun tangga dua hari sebelum seorang doktor datang dan mengatakan bahawa hari itu ia akan berlatih naik tangga.



"Alhamdulillah saya cuma dua minggu di hospital. Sekarang saya sudah boleh menggerakan tangan kanan saya. Kecelakaan itu telah banyak mengubah keperibadian saya," akui Yahya.



"Saya merasakan, ketika Allah menginginkan sesuatu terjadi, hidup seseorang berubah total dalam hitungan sedetik. Oleh sebab itu, saya lebih menghargai kehidupan dan mulai berfikir tentang kehidupan saya dan Islam, tapi saat itu saya masih tinggal di sebuah desa kecil," cerita Yahya.



Keinginan Yahya untuk menjadi seorang Muslim makin kuat, sehingga ia berani memutuskan untuk meninggalkan keluarganya di desa itu. Yahya menuturkan, "Saya meninggalkan ibu dan ayah tiri saya, meninggalkan gaya hidup saya yang mewah dan pergi ke Postdam, tinggal di apartmen kecil ayah kandung saya. Saya tak keberatan harus menempati sebuah dapur kecil, kerana saya cuma membawa sedikit pakaian, buku-buku sekolah dan beberapa CD."



"Kedengarannya saya kehilangan segalanya, tapi saya merasa bahagia, sebahagia ketika saya sihat kembali saat di hospital setelah kecelakaan buruk itu," ujar Yahya.



Diejek Teman Sekolah



Sehari setelah hari pertamanya memasuki sekolah di Postdam, Yahya mengucapkan dua kalimat syahadat. Yahya pun menjalani kehidupan barunya sebagai seorang Muslim, walaupun di sekolah ramai yang mengejeknya kerana menjadi seorang Muslim. Beberapa orang menganggapnya "gila" bahkan tidak percaya kalau dirinya orang Jerman asli.



"Saya melihatnya sebagai hal yang biasa kerana informasi yang mereka baca di media tentang Islam dan Muslim. Media massa menulis tentang Islam yang disebut teroris, Usamah bin Laden, Muslim yang jahat, dan sebagainya," tegas Yahya.



Sepuluh bulan berlalu dan situasi mulai berubah. Yahya aktif berdakwah pada teman-teman sekelasnya dan ia mendapatkan sebuah ruangan untuk solat, padahal cuma dia satu-satunya siswa Muslim di sekolahnya.



"Teman-teman sekelas berubah, yang dulunya menghina saya kerana masuk Islam, sekarang ramai bertanya tentang Islam dan mereka mengakui Islam tidak sama dengan agama-agama lainnya.



Yahya mengungkapkan, teman-teman sekolahnya menilai Muslim memiliki adab yang baik dalam berinteraksi dengan sesama manusia, bebas dari tekanan teman sekelompok seperti yang terjadi di sekolah mereka. Saat itu siswa-siswi di sekolah Yahya cenderung berkelompok atau membentuk ”geng”, mulai dari geng hip hop, punk sampai kelompok geng siswa yang hobinya berpesta. Setiap siswa berusaha keras untuk diterima menjadi anggota geng itu.



Tapi Yahya, ia mampu berkawandengan sesiapa saja. "Saya tidak perlu mengenakan pakaian khusus agar terlihat mengikuti simbol mana-mana geng. Malah yang terjadi, geng-geng itu sering mengundang saya dan teman-teman Muslim saya ke pesta-pesta barbeque mereka," ceritanya.



"Yang istimewa dari semua ini adalah, mereka menghormati saya sebagai seorang Muslim. Mereka membelikan makanan halal buat saya dan mereka menggelar dua pesta barbeque, satu untuk mereka dan satu untuk kami yang Muslim. Masyarakat di sini sudah mulai terbuka dengan Islam," sambung Yahya mengenang masa-masa sekolahnya.



Yahya menambahkan, ia merasa lebih mudah menjadi seorang mualaf daripada menjadi seorang yang memang sudah Muslim sejak lahir. Beliau banyak melihat ramai anak-anak muda Muslim yang ingin menjadi orang Jerman dan melihat Islam hanya sebagai tradisi. Anak-anak muda itu, kata Yahya, bersedia melepas 'tradisi' keislamannya supaya boleh diterima di tengah masyarakat Jerman.



"Faktanya, orang-orang Jerman tetap tidak mahu menerima mereka walaupun mereka melepaskan agama Islam mereka," ujar Yahya.



Beliau mengakui, kehidupan seorang Muslim di Jerman tidak mudah kerana majoriti masyarakat Jerman buta tentang Islam. "Kalau mereka ditanya tentang Islam, mereka akan mengatakan sesuatu tentang Arab. Bagi mereka, pertanyaan itu seperti soalan matematik, Islam=Arab". Padahal negara ini memiliki bangsa yang besar," jelas Yahya.